Etika Kesehatan di Tengah Krisis Pandemi Menavigasi Moralitas dan Tanggung Jawab

5 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Tips silaturahim lebaran saat pandemi Covid-19
Iklan

Dilema etis selama pandemi sangat nyata. Tenaga kesehatan membuat keputusan berat antara menyelamatkan satu nyawa atau nyawa lainnya.

Wacana ini ditulis oleh Kiki Asnanti, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.

Dalam sebuah wawancara mendalam dengan sejumlah tenaga medis yang terlibat langsung pada gelombang awal pandemi Covid-19, banyak dari mereka mengungkapkan dilema moral yang dihadapi setiap hari. Keputusan yang tampak sederhana, seperti siapa yang harus menerima perawatan kritis atau bagaimana melindungi diri sendiri tanpa mengabaikan pasien, ternyata sarat dengan implikasi etis yang kompleks.

Pengalaman mereka menunjukkan bahwa pandemi bukan sekadar krisis kesehatan, tetapi juga ujian moral bagi para profesional, pembuat kebijakan, dan masyarakat secara luas.

Etik kesehatan dalam konteks pandemi adalah cabang etika terapan yang menelaah dilema moral yang muncul ketika keputusan harus diambil dalam kondisi urgensi tinggi, dengan informasi yang tidak lengkap, dan sumber daya yang terbatas. Tenaga kesehatan dan pembuat kebijakan harus menyeimbangkan hak individu dengan kepentingan kolektif, sering kali di bawah tekanan psikologis dan sosial yang luar biasa.

Prinsip-prinsip etis yang menjadi pedoman tidak hanya bersifat teoritis, tetapi diwujudkan dalam praktik sehari-hari, mulai dari alokasi ventilator hingga komunikasi dengan publik. Seorang dokter yang diwawancarai menekankan bahwa, “Setiap keputusan yang saya buat bukan hanya tentang pasien yang ada di hadapan saya, tetapi juga tentang kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan secara keseluruhan.”

Memaksimalkan manfaat dan meminimalkan kerugian menjadi prinsip pertama yang menuntun setiap intervensi. Setiap kebijakan kesehatan masyarakat harus diarahkan untuk memberikan manfaat maksimal dengan risiko minimal. Keadilan dan kesetaraan menjadi kunci ketika sumber daya terbatas, misalnya dalam distribusi tempat tidur ICU atau vaksin. Solidaritas, sebagai prinsip kolektif, mengingatkan semua pihak untuk mengedepankan tanggung jawab bersama, di mana hak individu harus diimbangi dengan kewajiban terhadap sesama. Kepercayaan publik bergantung pada transparansi dalam setiap keputusan, dan komunikasi yang terbuka menjadi fondasi utama keberhasilan respons pandemi.

Dilema etis selama pandemi sangat nyata. Alokasi sumber daya terbatas memaksa tenaga kesehatan membuat keputusan yang berat antara menyelamatkan satu nyawa dan kemungkinan menyelamatkan yang lain. Kewajiban moral untuk merawat pasien berhadapan dengan risiko pribadi dan keluarga, terutama ketika peralatan pelindung diri tidak mencukupi.

Pemerintah menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan kebebasan individu, seperti pembatasan pertemuan sosial, dengan kebutuhan melindungi masyarakat. Uji coba vaksin menuntut pertimbangan etis yang cermat terkait desain penelitian, persetujuan sukarela, dan distribusi yang adil, terutama di negara-negara berkembang.

Pandemi juga menyingkap isu keadilan global, karena distribusi vaksin seringkali tidak merata antara negara kaya dan miskin. Pembatasan interaksi sosial, misalnya larangan kunjungan pasien di rumah sakit, menuntut inovasi komunikasi virtual agar ikatan emosional tetap terjaga.

Etika, sebagaimana dijelaskan para ahli, adalah ilmu yang mempelajari nilai-nilai moral dan bagaimana prinsip-prinsip ini diterapkan dalam kehidupan nyata. Dari akar katanya, ethos, yang berarti watak atau kebiasaan, etika membimbing perilaku manusia, memberi standar dalam menilai benar dan salah, membantu pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, membangun profesionalisme, dan menciptakan interaksi yang menghormati hak dan martabat individu lain.

Pandemi Covid-19 mengungkap sejumlah kelemahan dalam kesiapsiagaan global, termasuk kekurangan dana, pengawasan yang tidak memadai, dan distribusi intervensi yang tidak merata. Menyikapi hal ini, WHO merilis draf nol perjanjian pandemi pada Februari 2023, yang kemudian direvisi pada Mei 2023. Pandemi memperjelas bahwa pencegahan dan respons bukan hanya tindakan teknis atau ilmiah, tetapi juga merupakan keputusan etis yang mendasar.

Draf perjanjian terbaru mencakup prinsip-prinsip etika inti, meskipun beberapa di antaranya tumpang tindih dan memerlukan klarifikasi. Oleh karena itu, penegasan prinsip-prinsip utama dan hubungan mereka dengan implementasi kebijakan menjadi sangat penting untuk memastikan kepatuhan semua pihak.

Prinsip-prinsip seperti rasa hormat, keadilan, meminimalkan bahaya, timbal balik, proporsionalitas, fleksibilitas, kerja sama, inklusivitas, komunikasi, transparansi, kewajaran, tanggung jawab, dan akuntabilitas bukanlah sekadar jargon. Prinsip rasa hormat, misalnya, menekankan penghormatan terhadap hak, keinginan, dan perasaan individu, sejajar dengan filosofi Kantian yang menekankan perlakuan terhadap manusia sebagai tujuan, bukan alat. Keadilan mengharuskan perlakuan setara dan pengambilan keputusan konsisten, sambil tetap mempertimbangkan situasi yang tidak seimbang dan kerentanan kelompok tertentu. Meminimalkan bahaya mengarahkan semua upaya untuk mengurangi risiko fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi bagi individu dan masyarakat.

Timbal balik menuntut bahwa mereka yang menanggung beban lebih besar mendapatkan dukungan yang memadai. Proporsionalitas memastikan bahwa manfaat dan risiko dipertimbangkan secara seimbang. Fleksibilitas menjadi kunci dalam menghadapi informasi baru atau perubahan sumber daya. Konsep bekerja bersama menekankan kolaborasi lintas disiplin dan organisasi. Inklusivitas memastikan bahwa semua suara, termasuk penyandang disabilitas, didengar dalam pengambilan keputusan. Komunikasi dan transparansi menjadi alat untuk membangun kepercayaan, sementara kewajaran dan tanggung jawab memberikan dasar rasional dan praktis bagi setiap keputusan. Akuntabilitas memastikan bahwa setiap tindakan dapat dipertanggungjawabkan dan diaudit sesuai standar profesional dan hukum.

Sebagai kesimpulan, pandemi mengajarkan kita bahwa kesehatan masyarakat bukan sekadar soal vaksin, obat, atau fasilitas medis, tetapi juga tentang integritas, tanggung jawab, dan etika kolektif. Keputusan etis yang matang menjadi fondasi bagi masyarakat yang tangguh dan sistem kesehatan yang dapat dipercaya. Tanpa pertimbangan moral yang jelas, upaya teknis sekalipun akan kehilangan legitimasi dan efektivitas. Etika kesehatan, dalam konteks pandemi, bukan hanya teori akademik, tetapi pedoman hidup yang memandu kita untuk menyeimbangkan hak individu dan kewajiban kolektif dengan bijaksana dan manusiawi.

Corresponding Author: Kiki Asnanti, email: [email protected]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler